Salah satu tradisi unik yang dilakukan masyarakat adat Tengger di kawasan Gunung Bromo adalah Tradisi Wulan Kapitu. Tradisi ini merupakan bagian dari kehidupan spiritual masyarakat Tengger yang masih sangat menjaga hubungan dengan alam dan leluhur.
Apa Itu Tradisi Wulan Kapitu?
Wulan Kapitu, secara harfiah berarti “bulan ketujuh” dalam bahasa Jawa Kuno, adalah periode sakral bagi masyarakat Tengger yang biasanya jatuh pada bulan ketujuh kalender Jawa. Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan diri secara spiritual, menjaga keseimbangan dengan alam, dan memohon keberkahan kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kepercayaan masyarakat Tengger, bulan ketujuh dianggap sebagai waktu yang suci. Pada periode ini, mereka percaya bahwa hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi berada dalam kondisi yang sangat harmonis. Oleh karena itu, berbagai ritual dilakukan untuk menyucikan diri dan lingkungan.

Ritual dalam Tradisi Wulan Kapitu
Rangkaian tradisi Wulan Kapitu melibatkan berbagai aktivitas keagamaan yang berlangsung di pura-pura sekitar kawasan Gunung Bromo. Berikut adalah beberapa ritual utama dalam tradisi ini:
Tirta Amerta
Ritual ini dilakukan dengan mengambil air suci dari sumber mata air yang dianggap sakral, seperti di Pura Luhur Poten yang terletak di kaki Gunung Bromo. Air ini kemudian digunakan untuk upacara pembersihan diri sebagai simbol penyucian jiwa dan raga.
Meditasi dan Doa
Masyarakat Tengger melakukan meditasi dan doa bersama di pura-pura untuk memohon kedamaian, perlindungan, dan keberkahan bagi keluarga serta komunitas mereka.
Sesajen
Sajen berupa makanan, bunga, dan hasil bumi dipersembahkan kepada leluhur dan dewa-dewa sebagai wujud syukur atas limpahan rezeki dan perlindungan. Sesajen ini biasanya ditempatkan di pura dan beberapa lokasi sakral di sekitar Gunung Bromo.
Larangan Aktivitas Duniawi
Selama Wulan Kapitu, masyarakat Tengger menghindari kegiatan yang dianggap dapat mengganggu kesakralan tradisi, seperti perayaan yang bersifat hura-hura atau kegiatan duniawi lainnya.
Makna Filosofis Wulan Kapitu
Tradisi Wulan Kapitu tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga mengandung pesan moral yang mendalam. Masyarakat Tengger diajarkan untuk hidup selaras dengan alam, menjaga lingkungan, dan menghormati leluhur. Dalam konteks modern, tradisi ini menjadi pengingat akan pentingnya pelestarian budaya dan kearifan lokal di tengah arus globalisasi.
Daya Tarik Wisata Budaya
Selain sebagai bagian dari kehidupan spiritual masyarakat Tengger, Wulan Kapitu juga menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Para wisatawan yang berkunjung ke Gunung Bromo pada periode ini memiliki kesempatan untuk menyaksikan langsung keunikan budaya masyarakat Tengger.
Menghormati Tradisi Saat Berwisata
Tradisi Wulan Kapitu di Gunung Bromo adalah bukti nyata bagaimana masyarakat adat Tengger menjaga keseimbangan antara budaya, spiritualitas, dan alam. Tradisi ini tidak hanya memperkuat identitas budaya lokal, tetapi juga menjadi daya tarik yang menambah keistimewaan kawasan Gunung Bromo.
Jika Anda ingin merasakan keindahan Gunung Bromo sekaligus memahami budaya yang mendalam, kunjungan pada saat Wulan Kapitu adalah momen yang tidak boleh dilewatkan. Selain menyaksikan tradisi yang penuh makna, Anda juga akan merasakan kedamaian dan kehangatan dari masyarakat lokal.